Telah beberapa bulan berlalu setelah workshop Nulis Bareng Sobat (NBS) diadakan, namun saya belum sekalipun bergabung dengan teman relawan yang lain yang telah lebih dahulu terjun ke sekolah. Bukan tanpa alasan. Setelah melewati workshop NBS yang diadakan LemINA, seorang lelaki yang baik meminta saya menjadi istrinya. Konsekuensi kata ‘Yes’ yang saya ucapkan adalah kesibukan mempersiapkan segalanya menyita waktu dan perhatian. Syukurnya dia adalah lelaki yang mendukung saya sepenuhnya.
Akhirnya hari Sabtu sebulan setelah menjadi istrinya, dia mengantarkan saya ke SDN Sungguminas IV. SD yang dulu saya pilih dengan alasan gampang dijangkau menggunakan angkutan umum. Hari itu adalah hari pertama saya melakoni peran sebagai relawan. Namun di hari pertama itu saya hampir menyerah. Kesasar berkali-kali di bawah sengatan matahari membuat hati saya menciut.
“Ayomi pulang, capekmo,” saya mengajak suami untuk pulang saja.
“Janganki menyerah karena kebaikan ini mau kita lakukan. Ayomi kita cari lagi,” ujarnya.
Mengapa harus menjadi relawan saat di luar sana setiap jam kita bekerja akan digantikan dengan rupiah? Saat orang-orang bersantai, kita malah menghabiskan waktu untuk orang lain? Pertanyaan itu muncul ketika saya mengisi form kesediaan mengikuti workshop NBS. Memilih menjadi relawan saat itu didorong oleh rasa bosan dengan ritual harian yang itu-itu saja.
Menjadi relawan NBS mempertemukan saya dengan anak-anak istimewa. Mereka berasal dari keluarga dengan latar belakang berbeda yang sedikit banyak akan mempengaruhi karakternya. Diantara mereka ada yang tukang ngadu, suka membuat onar, cepat menangis, mudah memahami pelajaran, susah memahami pelajaran, suka bermain dan karakter lainnya. Hal ini sungguh memusingkan, namun mereka mengajarkan saya untuk punya sejuta cara menghadapi mereka. Metode pendekatan yang digunakan harus berbeda untuk setiap anak. Pernah sekali waktu saya datang hanya seorang diri, tanpa ditemani relawan yang lain. Saya bingung harus berbuat apa, akhirnya saya mengajak mereka bermain. Setelah bermain, tugas mereka adalah menceritakan kembali permainan apa yang dilakukan. Mudah-mudahan ada hal baik yang mereka petik dari sini. Pada anak-anak ini saya belajar lebih bersabar yang susah sekali untuk saya terapkan.
Menghadapi anak-anak sungguh begitu melelahkan namun menyenangkan melihat anggukan kepala mereka tanda paham, atau antusias mereka mempraktekkannya dalam tulisan, atau tawa nyaring karena kesenangan yang jarang dipahami orang dewasa, atau teriakan senang menyambut kami muncul di depan pintu kelasnya. Teringat kata ibu Fitria Laurent, seorang pemerhati anak yang sangat concern pada bidangnya, seorang relawan anak adalah pengobat untuk luka yang anak-anak dapat di luar sana.
Kedatangan saya sebagai relawan dengan maksud berbagi pengetahuan malah mendapatkan banyak hal. Anak-anak merupakan aset luar biasa untuk kehidupan bangsa dikemudian hari. Saya selalu berharap berbagi pengetahuan dan hal baik pada anak-anak kelak membuat mereka pun melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Dari sini akan membuat saya hidup selamanya. Hidup yang hakikatnya adalah mengumpulkan amalan baik. Seperti janji Rasulullah SAW bahwa salah satu amalan yang tidak berhenti bahkan ketika seseorang mati adalah amal jariyahnya. Semoga hal kecil yang saya lakukan ini tergolong dalam janji Rasulullah.
Saat membuat tulisan ini sebersit rindu hadir dalam hati saya. Bergaul dengan anak-anak yang apa adanya, anak-anak yang selalu meminta perhatian namun membuat kehadiran saya di tengah mereka begitu berarti. Namun hari ini saya kembali ke ritual kehidupan yang itu-itu saja. Mudah-mudahan suatu hari saya bisa kembali memiliki kesempatan berharga berdiri di antara anak-anak yang senyumnya sangat tulus.
*Tulisan ini dibuat oleh Kak Ida Bassarang, relawan Sobat LemINA